Taman Bermain

Taman bermain yang sederhana.

Dengan seorang perempuan,

Serta dua orang anak kecil

Entah lelaki, entah wanita, atau keduanya.

Mereka berlari ke sana sini, saling mengejar.

Tanpa pernah saling memanggil nama,

Karena belum pernah saling berkenalan,

Satu sama lainnya.

Selepas lelah tertawa.

Perempuan itu memeluk dua anak tadi.

Entah lelaki, entah wanita, atau keduanya.

Taman bermain yang sunyi.

Tiada bising sama sekali.

Karena anak-anak hanya bermain di kepala,

Dan di surga.

Jakarta, 8 Januari 2020.

Taman Bermain

Manusia yang Hidup di Masa Lalu

Kamu tahu apa yang terjadi dengan surat yang terakhir kamu kirim? Ya! Tukang pos itu mengaku tersesat selama satu bulan ketika mengantarkan surat tersebut. Gila! Tapi dia masih beruntung tidak menghabiskan 10 tahun di dalam surat dan aku tidak perlu menunggu selama itu seperti yang kamu bilang1. Ketika dia sampai di depan rumahku, dia mulai menggerutu, soal usianya yang kini tidak lagi tua. Untuk bisa sampai ke rumahku, dia harus menyusuri gang sempit serta berbagai kehidupan yang rumit. Selama perjalanan dia menyaksikan orang makan di depan selokan yang dijadikan tempat sampah, anak kecil tanpa celana yang sibuk bermain tanah karena dia tidak punya mainan lain, sampai dia mengantar seorang Ibu menempuh jarak kilometer hanya demi satu ember air yang bisa diminum. Dia berbicara tanpa henti, sampai akhirnya memutuskan untuk pergi. Sebelum dia pergi, dia menitip satu pesan untuk kita. Katanya “empat kali empat sama dengan enam belas, surat menyurat sudah tidak pantas”2.

Sebetulnya aku ingin mengajak dia masuk, agar dia bisa minum dan melepas lelah, sambil aku menceritakan bahwa yang kita lakukan sekarang lebih dari sekadar berkirim surat. Sayang, dia sudah terlalu kesal, jadinya memutuskan cepat-cepat angkat kaki dari tempat ini. Tentu saja aku ingin kamu ada di dekatku, mendengar suara, melihat senyum, sambil sesekali mencuri cium. Tapi selain itu, aku juga butuh membayangkan bahwa pada suatu hari yang Sabtu, kamu sedang duduk di sebuah cafe sambil pelan pelan membuka amplop yang berisi suratku. Beberapa lama kemudian kamu mulai tertawa sendiri, tanpa peduli dibilang gila oleh orang di sekitar, karena saat itu yang kamu dengar adalah lompatan-lompatan mimpi yang selalu kita bicarakan.

Aku menulis kepadamu untuk mengenal hadirmu. Aku ingin mengenal dirimu sebagai kamu. Bukan sebagai penulis surat cinta, bukan sebagai anak pertama, bukan sebagai seorang nama yang biasa orang panggil. Aku ingin melepaskan semua nilai-nilai yang orang sematkan pada diri, kemudian seperti bawang, melepaskan satu lapisan demi lapisan agar kita sampai pada diri yang sesungguhnya. Aku bisa menemukan itu dalam setiap tulisan yang kita buat, karena surat ini seperti halnya permainan. Kita terbebas dari pertanyaan soal usia, kedudukan, dan berbagai soal kehidupan yang pelik. Lagipula, semua hal di dunia ini sudah bisa kita pecahkan, kecuali bagaimana cara untuk hidup3.

Lyla, masa lalu memang pelik. Manusia harus melewati tragedi berulang sampai dirinya menjadi manusia yang pantas. Tapi kadang, bukannya menjadi manusia yang pantas, ia malah menjadi manusia yang terbiasa, terbiasa dengan apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan. Pada akhirnya ia tidak menganggap semua hal tersebut istimewa, ini berbahaya karena menenggelamkan diri dalam rutinitas lalu melupakan diri yang sesungguhnya. Kehidupan ini tidak hadir begitu saja, ia harus kita cari, kita temukan, lalu kita ciptakan. Sementara, aku harus mengingatkan diri yang tidak abadi melalui ruang dan waktu. Karena hidup akan kehilangan arti ketika kita lupa menyadari bahwa hidup ini hanya sementara4, hanya sekadar mampir untuk minum5.

Aku mau hidup di masa lalu. Seperti ketika pertama kali aku melihatmu, seperti ketika pertama kali aku merasa bahagia hanya karena melihatmu, seperti ketika kali aku merasa yakin bahwa aku mencintaimu. Aku akan menjadi seorang pemula, seorang yang selalu mengira bahwa semua itu baru pertama kali aku alami. Hingga pada akhirnya aku tidak terjebak pada keseharian dan sesuatu yang biasa. Jadilah seorang pemula, Lyla, jadilah seorang yang menaklukan waktu, yang meskipun kita hidup di masa sekarang, kita harus terus berada di masa lalu6.

Bandung, menjelang akhir tahun.
F


1. Dalam buku Sepotong Senja untuk Pacarku karya Seno Gumira Ajidarma, tukang pos itu membutuhkan 10 tahun untuk mengantar surat karena ia terseret masuk dalam amplop tersebut.
2. Ini pantun saya baca di buku Pidi Baiq. 4×4=16 ini pantun yang sering saya dengar selagi kecil.
3. Sartre yang bilang ini
4. Sartre juga bilang ini
5. Diambil dari pepatah Jawa, “Wong Urip iki mung mampir ngombe” hidup ini cuma sekadar mampir buat minum.
6. Menjadi pemula dalam melihat kehidupan sehari-hari diambil dari Heidegger dalam bukunya Being and Time.

Manusia yang Hidup di Masa Lalu

Hai Kamu Manusia Berbahagia, Apakah Kamu Manusia yang Hijrah?

Dear F,

Aku terima suratmu dalam keadaan utuh, aroma tinta yang masih menyengat, serta amplop yang tertutup rapat. Aku senang kamu hanya mengirim surat, tanpa perlu menyertakan senja sehingga tidak perlu menciptakan praha atau menunggu 10 tahun hanya sekedar membaca ungkapan kasih sayang. Tapi dalam surat itu aku juga rasakan, tidak hanya kata-kata, tapi perasaan, serta hati yang berbicara. Aku mendengar suara kamu ikut keluar dari lipatan surat dan bermain di telingaku dengan merdu.

Aku masih bersukacita membaca suratmu. Meski setiap orang kadang kesulitan menerjemahkan cinta menjadi bahasa, tapi kamu tidak. Aku membaca semangat dan keberanian hidup dalam getir yang kamu ceritakan. Aku melihat manusia yang sadar tentang penderitaan dan keputusasaan tapi memilih cinta dan berbahagia. Kamu memilih menjadi manusia bebas, meski kebebasan adalah kutukan. Setiap pilihan yang kita ambil, menutup pilihan lain yang bisa saja lebih baik. Kebebasan hanya mengantarkan kita pada penyesalan, F, aku harap kamu juga menyadari hal tersebut.

F sayang, kita pernah berbicara soal ini sebelumnya. Soal hidup yang berulang, soal hati yang keras kepala, soal manusia yang sering menjalani kesedihan berkali-kali agar menjadi manusia yang pantas. Pada mulanya kehidupan dijalani dari satu suasana ke suasana lain, tanpa perlu melihat jarum jam yang berdetak ke kanan. Tapi kemudian, kita menemukan waktu, sehingga hidup kemudian dijalani ke depan, sambil sesekali melihat ke belakang***.  Dengan begitu, kita bisa mengenang sebaik-baiknya setiap kenangan.

Manusia, tidak lain adalah manifestasi dari masa lalu, kamu yang kini berjalan adalah kamu yang dulu merangkak, dan yang sebelumnya tertatih-tatih untuk berdiri. Kamu yang sekarang mencintai dengan besar hati, adalah kamu yang dulu belajar menemukan diri dalam setiap luka hati yang pernah kamu alami. Suka atau tidak, kamu harus melewati itu lebih dulu, dan sekali lagi, berulang kali.

Aku kirim kembali surat ini padamu bersama angin yang membawa rindu melewati Senin, Selasa, dan Rabu*, serta hujan yang memberikan harapan bahwa bumi ini tidak terlalu gersang untuk kita tinggali, lalu kamu, ya kamu, pelangi yang kemudian aku tunggu di hari Sabtu dan Minggu di teras depan rumahku. F, pesan terakhirku.

Masing-masing diri kita melawan satu monster menakutkan bernama masa lalu. Berhati-hatilah agar perlawanan yang sedang kamu lakukan tidak mengubah dirimu menjadi monster juga**. Aku senang kamu memilih menjadi manusia yang berbahagia, tapi aku juga berharap kamu menjadi manusia yang hijrah, menjadi manusia yang memaafkan. Memaafkan masa lalu adalah hal penting, tidak lupa kamu juga punya tugas yang lebih berat, memaafkan diri sendiri. Sudah kah kamu melakukan itu?

Jakarta, 29 Oktober 2017
kamar kos yang luasnya hanya segitu.

*Seingat saya ini adalah bait dari puisi Rendra, tapi judulnya lupa (maksudnya tidak ingat apa judulnya, bukan puisi itu berjudul lupa woy!)
**Diambil dari Nietzsche, beware that, when fighting monsters, you yourself do not become a monster

Hai Kamu Manusia Berbahagia, Apakah Kamu Manusia yang Hijrah?

Manusia yang Memilih Berbahagia

Dear Layla,

Kapan terakhir kali kita bertemu? Aku lupa hitungan hari dan bulan, kini aku sedang merasakan sesuatu yang aneh. Apa itu namanya ketika setiap kali aku melihat ke sekeliling, aku melihat kamu di sana, aku mendengar wajah kamu berubah menjadi suara-suara yang akrab di telinga. Aku mendengar kamu memesan kopi yang biasa kamu beli, aku mendengar kamu berbicara soal buku yang baru saja kamu baca. Aku merasa, setiap kali aku duduk diam sendiri, ada kamu yang menemani. Menurut kamu seram tidak? Tapipun terserah kamu mau memberikan sebutan apa terhadap rasa yang sekarang ada. Nanti kalau kita ketemu lalu berpisah, rasa ini akan menguasai lagi.

Pada suatu yang pagi, aku terbangun dengan tiba-tiba, adalah wajahmu yang pertama kali aku ingat, bukan lagi mimpi yang aku alami tadi. Apa bedanya? Mimpi dengan tertidur sama halnya menjalani mimpi dengan terbangun. Seperti setiap detak yang aku rasa saat ini. Lucu bagaimana kita bisa merencanakan semua hal kecuali satu, kepada siapa kita jatuh cinta.

Kamu tahu, jatuh cinta tidak mudah. Kita sudah mengalaminya beberapa kali, dan kenyataan bahwa aku harus mengalaminya lagi menjadi bukti bahwa semua belum berakhir dengan cerita yang bagus. Kamu juga demikian. Bukannya kita adalah dua orang yang berusaha mengulang episode di masa lalu, hanya saja kita berhak melakukan sedikit peruahan. Kita harus bisa membuat sedikit twist di penghujung cerita, karena keindahan seringkali muncul dari hal yang tidak kita rencanakan.

Layla, apa yang akan kita jalani tidak mudah. Cinta adalah soal pertengkaran, perpisahan, mungkin saja kenangan yang sulit dilupakan. Tapi pada saat yang sama, cinta juga soal rindu di malam hari, soal terbangun sampai pagi sambil berbicara tentang nama-nama yang bagus, serta soal sejauh apa kita berani menghadapi hidup yang penuh tanda tanya.

Pada saat aku merasakan hal itu, aku bicara padamu. Seringkali cinta terdengar aneh, tidak masuk akal, bahkan sia sia. Apakah hal itu membuat kita menyerah? Satu hal yang bisa kita lakukan adalah menerima itu semua. Menjalani kehidupan sebagai manusia berarti sudi mengakui pertentangan antara keinginan dan kenyataan. Memaafkan diri, walaupun biasanya lebih sulit, adalah hal yang harus dilakukan setelah memaafkan keadaan. Kadang yang kita lakukan hanyalah bisa menerima, tanpa perlu menyalahkan satu atau lain hal.

Layla aku akhiri surat ini, dengan keyakinan bahwa perasaan ini tidak keliru. Mencintaimu adalah hal termudah yang pernah kulakukan. Bahwa bisa saja semua ini berakhir tanpa ujung yang indah, itu juga benar. Tapi aku sudah memikirkan, perenungan panjang yang harus dilewati manusia agar sadar bahwa di hadapan cinta, semuanya berharga, semuanya pantas, semuanya patut untuk diperjuangkan. Harapan itu sendiri cukup untuk memenuhi hati sehingga kita berani mengatakan bahwa kita adalah manusia yang berbahagia.

Aku tidak jatuh cinta kepadamu, Layla, aku memilih kebahagiaan.

Sudah malam, aku juga memilih tidur.

Bandung, 24 September 2017.

 

 

Manusia yang Memilih Berbahagia

Surat Cinta untuk Layla; Part II

Dear Layla

Aku akan menceritakan kepadamu sebuah kisah. Kamu akan mendengar ini sebagai salah satu kisah paling bahagia yang kamu dengar. Jadi, aku harap kamu lupakan dulu persoalan takdir, tragedi atau nasib yang memang adalah kesunyian masing masing. Sementara, kita akan duduk, diam, dan pura pura tak berdaya.

Ada orang yang berbicara tentang manfaat dan guna, ada orang yang berbicara tentang arti, ada orang yang berbicara tentang mimpi dan harapan. Tapi kita memilih tidak masuk ke dalam golongan dari orang-orang tersebut. Kita adalah yang duduk bersama suatu pagi di sebuah kedai kopi yang harganya berlebihan, tanpa beban harus mengubah dunian maupun melakukan kebaikan.

Aku duduk di satu kursi, sambil membaca buku filsafat yang penuh kesedihan, sementara kamu duduk di kursi lainnya dengan buku kesukaanmu. Diantara dua gelas kita, serta gelas gelas kosong lain yang sebelumnya menjadi saksi pembahasan topik penting seperti; Apakah kamu lebih suka ayam goreng atau ayam bakar? Atau mana yang lebih enak dimakan ketika hujan, mie goreng atau mie rebus? Serta, dosa apa yang dilakukan oleh ayam sehingga ketika dia masih jadi telor dia harus dipecahkan. Kala. Kalau tidak pecah dan jadi anak, kemudian anaknya dijual ke anak anak SD yang sebagian besar ayam ini berumur pendek. Jika ia berumur panjang dan hidup, ia akan dianggap sebagai pengambil rezeki orang yang bangun siang. Dan yang paling parah, dia memiliki citra negatif ketika berkeliaran di kampus. Kita memang begitu, tidak mau membebani pikiran dengan hal hal yang berat karena kehidupan sendiri sudah demikian.

Aku suka dengan keadaan seperti ini. Kita berdua sibuk dengan dunia masing masing tanpa perlu menjadikan satu dan yang lainnya orang asing. Sampai pada titik tertentu, aku mendekatkan diri pada kamu yang asyik membaca novel karya Murakami, aku berkata pelan. “Aku tidak mengerti dengan Murakami”, aku berhenti sejenak, untuk menciptakan efek dramatis. Kamu penasaran, menutup buku tebal berjudul “Dunia Kafka” itu, lalu mendekat ke arahku. “Kenapa?” dengan mata penuh penasaran. Aku menarik nafas panjang sebelum menjawab, “Dia menghabiskan 7-8 halaman hanya untuk menjelaskan gambar dalam sebuah lukisan. Kenapa dia sebegitu bencinya terhadap pohon?” kamu memutar mata sambil memukulkan buku yang kamu pegang ke lenganku,”gak jelas!” dan kembali larut dalam dunia Murakami, dalam buku dia yang tebal yang tidak ramah lingkungan.

Ada kehidupan, ada kematian, serta keindahan juga kemurungan yang bergelantungan di antaranya. Kamu mengajarkan bahwa dunia ini konyol dan tidak masuk akal, Aku sepakat. Kita tidak memiliki cukup waktu untuk menjadi diri sendiri sepenuhnya, tapi selalu ada ruang untuk menjadi bahagia.Kita akan terus mencari itu sampai hati punya kenangan sendiri dan ia tidak akan mudah melupakan.

Aku menerima kamu dengan semua resahmu, seperti kamu menerimaku dengan selera musikku yang ketinggalan zaman. Aku mau berada di sisimu walau kamu keras kepala sekalipun, seperti kamu yang bersedia menghabiskan dua jam untuk mendengarkan aku berbicara soal kesedihan. Aku mau memegang tangan dan mencium keningmu agar kamu yakin bahwa kita bisa melawan dunia, seperti kamu yang selalu memeluk tangisku sambil berbisik semua akan baik baik saja.

Kita ada di sini, Layla, dalam cinta yang bodoh dan kekanak-kanakan. Kita sudah menjadi unta yang melihat kepedihan dalam setiap langkah yang kita lewati. Kita pernah menjadi singa yang menolak untuk menyerah dan tidak peduli seberapa terjal jalan yang ada, kita akan menapakinya tanpa lelah. Hal terakhir yang harus kita lakukan adalah menjadi anak kecil. Anak kecil yang bisa berbahagia dengan apapun yang ia punya. Kita akan menyanyi dan menari, dan kamu akan bilang bahwa suaraku sumbang, tapi pada saat yang sama kamu mengingatkan aku untuk tidak peduli karena kita hanya hidup untuk sekarang.

Sebagai anak kecil, kita akan membuat kebijaksanaan sendiri, kita akan membuat realita sendiri, sampai kita bebas dari aturan orang dewasa. Karena, tahu apa mereka soal anak anak?

Layla, aku tulis surat ini untuk mengingatkan bahwa kematian tidak serta merta menghentikan cinta seseorang. Tapi untung kita berdua masih hidup, butuh lebih banyak nyali untuk hidup daripada harus menghadapi kematian. Bisa saja kita pergi ke jalan yang gelap tanpa pernah menemui makna. Aku dan kamu tidak mau itu, aku mau tetap hidup, aku mau jadi alasan kamu berterima kasih atas setiap detik kehidupan yang kamu rasakan.

Sudah malam, mari tidur.

Surat Cinta untuk Layla; Part II

Surat Cinta untuk Layla

Aku kira
Beginilah nanti jadinya.
Kau kawin, beranak, dan berbahagia.
Sedang aku mengembara serupa ahasveros
Dikutuk sumpahi eros.

Tak Sepadan – Chairil ANwar

Aku harus meminjam kata-kata Chairil lebih dulu untuk memulai semua ini. Aku kira, aku harus berbicara lewat tulisan alih alih bicara, karena setiap kali bertemu, kepalaku lupa soal apa saja yang harus aku bicarakan, yang harus kita bicarakan. Lebih baik, Tapi aku sepakat, kita harus mulai akhir dari semuanya. Aku kesal kepadamu, kamu membuat seorang penulis kehabisan kata-kata. Bagaimana jadinya?

Kamu apa kabar Layla? Aku yakin baik. Ini adalah sebuah pertanyaan yang tidak perlu, tapi harus ada untuk kamu tahu bahwa aku senantiasa mengharap kamu dalam keadaan baik. Meskipun aku jarang berdoa kepada Tuhan, tapi setiap kali ada kesempatan, aku gunakan untuk menyebut namamu, di situ, setelah aku sebut nama Ibu.

Ada banyak pertanyaan yang kita punya, soal kehidupan, soal nasib, soal perasaan perasaan yang seringkali sulit untuk diungkapkan. Tapi akulah orangnya yang ini, yang dulu bilang sayang padamu, yang dulu bilang tidak akan menyerah untuk berusaha ada di dekatmu, yang dulu bilang kalau nyebrang lihat kiri kanan karena kamu bukan ayam, yang kemudian kamu tertawa meskipun kamu tahu itu tidak lucu, yang lucu adalah bagaimana kita bisa sejauh ini, sedang kamu, selalu begitu, selalu tidak tahu apa yang kamu mau.

Tapi Layla, aku tidak pernah menyesal apalagi sedih, bahwa akhirnya kita kembali kepada bukan siapa-siapa itu soal lain.  Itu kan soal Tuhan yang menulis suratan dengan seenak Jidat.

“Ah iya, ini Brama kita buat jatuh cinta pada Layla, lalu Layla juga sempat suka sama dia, tapi kemudian Layla harus meneliti sejenis amoeba di Uganda.”

“Oh ya tambahin, tiba tiba Brama tahu kalau Lyla masih sayang sama bekas pacarnya”

“Satu lagi, setelah putus, kasih Brama penyakit tipes selama satu minggu, biar ada efek dramatis.”

Kira kira begitulah yang terjadi. Tapi sungguh, aku senang dan berbahagia ada di dekat kamu selama waktu yang singkat ini.

Bagaimana kalau kita tidak pernah bertemu?

Aku bertanya berulang kali soal ini. Tanpa mengenal kamu, aku tidak perlu terluka. Aku tidak perlu melewati malam penuh kesedihan karena berusaha untuk melupakan berbagai hal. Aku tidak perlu merasa sedih ketika mendengar lagu yang mengisahkan bahwa cinta tidak punya kewajiban untuk berakhir bahagia.

Tapipun, tanpa kamu, aku tidak akan pernah tahu bahwa cinta bisa seperti ini, bahwa aku akan memiliki perasaan yang tidak semua orang bisa alami di sepanjang hidup mereka, bahwa aku punya kesempatan untuk merasakan cinta yang sesungguhnya dan sebener-benarnya.

Kamu apa kabar?

Kamu akan berhenti mendengar pertanyaan tersebut. Karena kamu baik baik saja, dunia masih berputar, kamu masih tersenyum, serta kamu masih bisa berbahagia.

Aku kadang, tidak merasakan itu semua. Ada sedikit keresahan yang membuat aku tidak bisa tidur lelap pada suatu malam karena merasa sendirian. Karena foto kita berdua yang biasa aku lihat, kini memberikan makna yang berbeda, memberikan banyak pertanyaan lain, memberikan banyak bayangan lain soal bagaimana seandainya bukan keputusan ini yang aku ambil? Seringkali aku ingin menangis, tapi kamu menolak untuk melakukan itu, dan berulang ulang mengucap serta meyakinkan diri sendiri bahwa semuanya baik baik saja, padahal tidak, dan itu memang sudah seharusnya.

Aku tidak pernah punya rencana untuk jatuh cinta, jatuh cinta seringkali menakutkan. Kita akan dihadapkan pada kenyataan bahwa kita merasa dipaksa keluar dari segala sesuatu yang nyaman kemudian mencoba hal yang satu setan pun tidak tahu akan memberikan kebahagiaan atau tidak.

Aku tidak pernah punya rencana untuk jatuh cinta. Begitu pun ketika bertemu dengan kamu. Tapi suatu kali, ketika aku pegang tanganmu, aku merasa yakin, bahwa pada saatnya aku harus melepas genggaman tersebut, aku akan merasakan sesuatu hilang. Kamu tahu di mana aku bisa menemukan lagi mimpi yang sempat aku miliki?

Surat Cinta untuk Layla

Sia sia

Aku ingat lagi waktu kita terakhir kali bertemu. Duduk di antara kopi dan coklat panas serta beberapa gelas yang sudah tidak terisi. 

Aku ingat lagi kamu menatap sambil terus berkata hal hal yang tak perlu. Mengulang masa lalu, kemudian meninggalkan semua yang terjadi tanpa sempat menoleh sekali pun. 

Aku ingat lagi suara yang hilang karena musik yang hingar atau lampu yang menyorot tajam atau karena pada saat yang sama aku baru menyadari bahwa seperti halnya kehidupan, semua yang aku lakukan adalah sia sia tanpa pengecualian. 

Aku ingat lagi wajah kau yang berubah menjadi suara suara akrab di telinga. Mengisi ruang ruang sempit di antara buku yang kita baca, serta memenuhi halaman halaman tulisan tanpa makna yang jelas.  

Aku ingat lagi resah yang kau berikan, serta ketiadaan yang kini kau tinggalkan. Ah cinta, omong kosong yang seringkali kau bilang, yang sialnya aku percaya. 

Sia sia

Sebuah Pertemuan

Harus mulai dari mana? Dari perasaan yang tiba tiba datang? Atau dari rasa kaget karena aku bisa bertemu kamu? Rindu yang bisa saja keliru? Atau senyum kamu yang seperti candu yang membuat aku tidak bisa lupa detik detik aku menghampiri dan bertanya nama kamu siapa?

Gombal! Kata kamu suatu kali sambil mencubit lengan kananku.

Tidak sakit, tentu saja. Tapi aku pura-pura menahan ngilu, sambil kemudian tertawa.

Jadi cerita mana yang ingin kamu dengar? Aku bilang ya, pertemuan kita saat itu dan malam malam setelahnya memang tidak biasa.Setidaknya bagiku, kamu memberikan aku satu lagi alasan kenapa hidup ini harus disyukuri.

“Nama kamu siapa?” Aku bilang sambil menyisip minum dari gelas yang hanya tinggal seperempat.

Kamu tersenyum,

Aku kira kamu akan mengutip Shakespeare, tapi ternyata tidak.

Kamu mengangkat gelas itu agak tinggi, sejajar dengan mata kamu yang bulat biru.

“Apa duduk di sini berdua tidak cukup bagi kamu?”

Kamu tersenyum, sekali lagi,

Aku membatu. Sedetik, dua detik, aku memikirkan soal itu.

Cukup. Lebih dari cukup.

“Tapi aku bingung, setiap kali bertemu aku harus memanggil kamu dengan nama baru.”

“Itu lebih baik daripada tidak sama sekali, kamu diberi kebebasan untuk memanggil dengan nama yang kamu suka”

Katanya sambil bermain dengan rambutnya yang sudah rapih.

“Aneh rasanya setiap kali, aku memanggilmu dengan nama berbeda.”

“Aneh ketika kamu ingin bertemu, kamu harus tidur dulu”

Ia berkata sambil berdiri lalu berjalan menuju terang yang silaunya membuat mata sakit dan aku masih di sini. Kali ini membuka mata, semuanya tidak lagi sama. 

*Kayaknya ini tulisan zaman kuliah deh*

Sebuah Pertemuan

Pukul Lima Pagi

Kita bertemu di sebuah malam yang kelam, 
Duduk diantara kesalahan, penyesalan serta rasa bersalah. 
Setelah seratus entah seribu lupa, 
Kamu masih juga tersenyum sambil memberi cinta. 

Waktu hampir pukul sepuluh, 
Ketika kembali berbicara soal kehidupan yang kian suram.
Kemudian kita mulai semua dari awal,
Dan kamu masih mau menerima, seperti sesaat setelah aku menemuimu di hari yang hujan. 

Aku membasuh muka, mencoba mengingat semuanya. 
Sambil aku kenangkan kembali doa doa yang dulu sama sama pernah kita utarakan. 
Ada perasaan syahdu setiap kali aku menyebut namamu, 
Siapa tahu, ini semua adalah awal baru, 
Untuk bermimpi dan memulai cerita yang belum selesai. 

Pukul lima pagi, 
Aku mencium keningmu sekali lagi, 
Lebih atau kurang, cinta harus dirayakan memang. 

Pukul Lima Pagi

Sekali lagi

Aku kira kini tiba waktunya, 
Kita tengok lagi wajah  wajah murung yang biasa kita saksikan di tepi kesunyian
Sambil berbicara soal makna makna yang  sudah tidak ada harganya

Seperti apa rasanya masa lalu? 
Rindu yang menembus waktu dan melewati senin selasa rabu hingga sabtu dan minggu. 
Sela sela hati yang kamu selami sambil mendengar lagu lagu nyaring di telinga
Hingga kamu memilih untuk tetap tinggal, dan menolak mengakui bahwa waktu tidak pernah berdetak ke kiri

Tapipun bisa mencintaimu adalah anugerah yang tidak boleh aku lewatkan begitu saja. 
Kemampuan untuk bisa merasakan iba hati dan kedukaan
Merupakan hal yang berharga,
Merupakan hal yang hakiki, 
Merupakan hal yang melengkapi kehidupan dan membuat kita berbeda dengan benda mati*

Kalau boleh aku diberikan kesempatan, 
Aku ingin mencintaimu, 
Sekali lagi. 

Selamat hari puisi sedunia akhirat! 

*Ditulis ulang dari paragraf yang ditulis Gie

Sekali lagi